Alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. -wikipedia (diakses tanggal 1 April 2015)-
Dulu saya tidak pernah perduli dengan alergi. Bukan tidak mau peduli, tapi bertemu kasus alergi saja rasanya tidak pernah. Tapi sejak menikah dengan suami saya, saya jadi akrab dengan kata alergi. Pasalnya suami saya memiliki alergi terhadap beberapa hal, seperti: debu, cuaca dingin dan mint. Debu dan udara dingin akan merangsangnya untuk bersin-bersin, sementara mint akan merangsang asma nya kambuh. Pengalaman suami saya itu tidak membuat saya belajar atau mencari tahu tentang alergi. Pengetahuan saya hanya sebatas, yang penting jangan sampai suami saya terpapar makanan/minuman yang membuat alerginya muncul.
Dulu saya tidak paham kalau alergi itu menurun. Ketika Naeema berusia 9 bulan dan terkena penyakit HMFD (Hand, Mouth, Feet Disease) atau biasa disebut flu singapur dan hampir mengalami dehidrasi namun asi saya tidak mencukupi karena sudah jarang memompa asi di kantor, maka atas saran dokter akhirnya saya mulai memberikan susu formula. Saat itu saya memberikan Naeema susu formula biasa. Tetapi beberapa menit setelah pemberian susu formula tersebut muka Naeema keluar bintik-bintik merah disekitar wajahnya. Setelah berkonsultasi dengan dokter anak barulah saya paham kalau Naeema memiliki alergi protein susu sapi.
Alergi ternyata menurun ke anak. Dan saya tidak menyadari hal itu. Setelah berkonsultasi kembali dengan dokter akhirnya saya mengikuti saran dokter untuk mengganti susu formula yang mengandung protein susu sapi dengan susu soya. Naeema tidak hanya alergi terhadap protein susu sapi yang membuat wajahnya bermunculan bintik merah, tapi juga tiap kali makan ayam atau udang pasti kulitnya akan mengalami dermatitis. Akhirnya saya memutuskan untuk memberikan ayam dan udang secara berkala, sedikit demi sedikit sampai tubuh nya resisten. Alhamdulillah sekarang sudah bisa makan ayam dan udang, dan dermatitis nya sudah tidak muncul.
|
Dr. Lula Kamal membuka acara |
Itulah yang menyebabkan saya tertarik hadir di acara yang diadakan oleh
Sari Husada #NutriTalk yang dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2016 di Hotel Double Tree Cikini. Acara #NutriTalk yang dipandu oleh Dr. Lula Kamal, siang itu akan membahas tentang alergi protein susu sapi pada anak. Cocok sekali dengan pengalaman saya sewaktu Naeema kecil dulu. Penasaran membawa berkah, alhasil saya mendapat banyak hal baru terkait dengan alergi tersebut dan tumbuh kembang. Diskusi siang itu menghadirkan pembicara yang memang ahli di bidang tumbuh kembang anak yaitu DR. Dr. Rini Sekartini, SpA(K), beliau adalah Konsultan Tumbuh Kembang Anak di RSCM Jakarta dan Prof. DR. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K), MKes yang adalah Konsultan Alergi Imunologi Anak Fakultas Kedokteran di Universitas Padjadjaran.
1000 Hari Pertama Kehidupan
Melalui paparan yang disampaikan oleh Dokter Rini, saya jadi tahu bahwa 1000 hari pertama (0 - 2 tahun) merupakan fase yang sangat penting dalam tumbuh kembang manusia. Oleh sebab itu pada fase ini sebaiknya kebutuhan dasar tumbuh kembang baik secara biologis, kasih sayang dan stimulasi dapat dipenuhi.
Pemberian makan pada bayi juga perlu diperhatikan, seperti:
- 0 – 6 bulan pemberian ASI Eksklusif
- > 6 bulan pemberian ASI dan MPASI (Makanan Pendamping ASI)
- Pemberian makanan keluarga
Dan tentu saja asupan ibu pada saat hamil juga tidak kalah pentingnya.
Fakta Alergi
Saya baru tahu jika salah satu orangtua (ayah atau ibu) memiliki riwayat alergi maka anak akan memiliki alergi walaupun hanya 20% - 30%. Ini persis seperti kasusnya Naeema, dimana suami saya memiliki riwayat alergi dan saya tidak. Pada orangtua yang tidak memiliki risiko alergi pun tetap memberikan peluang kepada anak memiliki risiko alergi sebesar 5% - 15%. Tidak heran jika ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa 1 dari 12 anak memiliki risiko alergi protein susu sapi.
|
Risiko Alergi Anak Berdasarkan Genetika |
Pembahasan alergi yang dipaparkan oleh Dokter Budi memang lebih menitik beratkan pada alergi protein susu sapi. Karena susu sapi merupakan alergen yang banyak dilaporkan pada tahun pertama kehidupan. Menurut data World Allergy Organization (WAO) anak-anak di dunia yang memiliki alergi pretein susu sapi adalah sebesar 1,9% - 4,9%. Selain susu sapi juga ada telur, kacang-kacangan, makanan laut, gandum dan ikan yang juga menjadi alergen pada tahun pertama kehidupan.
Alergen adalah bahan-bahan yang bisa menyebabkan hipersensitivitas.
Gejala-gejala yang muncul pada anak yang alergi protein susu sapi adalah:
- Gejala pada kulit
- Gejala pada saluran napas
- Gejala pada saluran cerna
|
Gejala yang muncul pada anak yang alergi protein susu sapi |
Dari masing-masing gejala tersebut tidak sepenuhnya muncul secara bersamaan diusia yang sama, bahkan alergen nya bisa juga berbeda. Misalnya saja pada usia 0 – 3 tahun anak memiliki alergi terhadap makanan sehingga muncul gejala pada kulit, namun saat usia > 3 tahun alergi terhadap makanan tersebut hilang dan berganti menjadi alergi terhadap debu dan menyebabkan munculnya gejala pernapasan.
Meminimalkan Risiko Alergi
Jangan sampai informasi yang saya berikan diatas membuat kamu takut menikah dengan pasangan yang memiliki alergi ya. Tenang…..semua itu ada solusi atau pencegahannya.
Alergi memang tidak bisa dihindari sih ya, tapi paling tidak, bisa kita minimalisir dampaknya jika kita tahu sejak awal kalau anak yang akan kita lahirkan memiliki risiko alergi.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk meminimalisir dampak dari risiko alergi tersebut dimulai dari:
- Sebelum kehamilan itu terjadi. Dengan cara menghindari paparan dengan asap rokok secara langsung.
- Di masa kehamilan. Diet yang sehat dan seimbang, penuhi asupan vitamin yang diperlukan saat kehamilan. Risiko kekurangan gizi dan protein akan merugikan bagi janin.
- Saat persalinan. Informasikan kepada Dokter anak anda bahwa anda dan pasangan memiliki riwayat alergi, sehingga Dokter anak akan langsung tahu apa yang harus dilakukan jika suatu hal terjadi.
- Usia 1 tahun. Berikan ASI Ekslusif sampai dengan 6 bulan. Pengenalan makanan padat di usia 4-6 tahun pada kelompok yang memiliki risiko alergi akan menurunkan kejadian alergi itu sendiri.
- Usia > 2 tahun. Berikan anak makan-makanan yang bergizi, makanan rumah dan bukan makanan cepat saji.
Bagaimana jika ibu tidak bisa memberikan ASI pada bayi yang memiliki risiko tidak toleran terhadap protein susu sapi?. Pemberian nutrisi tetap harus diberikan dengan cara memberikan nutrisi dengan protein terhidrolisasi parsial.
Protein terhidrolisasi parsial adalah sebuah teknologi yang memotong panjang rantai protein menjadi lebih pendek dan memperkecil ukuran massa molekul protein sehingga protein akan lebih mudah dicerna dan diterima oleh anak. - Prof. DR. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K), MKes-
Tapi jika kasusnya seperti Naeema, yang memang sudah jelas alergi terhadap protein susu sapi, maka pemberian susu yang mengandung isolat protein kedelai merupakan cara terbaik. Berdasarkan penilitian susu ini dapat dijadikan pilihan yang aman bagi anak yang memiliki alergi protein susu sapi karena dapat ditoleransi dengan baik. Jadi, bukan berarti anak alergi protein susu sapi tidak diberikan susu ya. Penggantian nutrisi tersebut bisa digantikan dengan formula kedelai.
Bagaimana, sudah cukup berkenalannya dengan alergi? Semoga informasi ini bermanfaat sehingga Bunda menjadi lebih tahu apa yang harus dilakukan jika memiliki anak dengan risiko alergi.