Botol Cinta

Oleh: A. Mustari

Halo, kami tiga buah botol.

Sebenarnya tak ada yang istimewa dari diri kami. Kami hanya botol minuman kemasan vitamin C yang banyak dijual di retail-retail. Ketika isinya habis, sebentar saja kami sudah masuk ke dalam bak sampah dan diangkut ke TPA terdekat.
Tapi tunggu! di sinilah perjalanan cinta kami dimulai!

Seorang bapak pemulung tua memungut kami dengan binar cinta dan harapan. Setidaknya ada rupiah yg bisa dibawanya pulang. Sampai ke pengepul, kami digosok, distelisisasi, hingga.. cling! Tak ada yang menyangka kami pernah teronggok di tempat sampah. Kerennya recycle nih.

Meski kami sering tak suka dengan sesuatu yang berbau eksploitasi, kali ini kami senang diperdagangkan. Mengapa? Karena pedagangnya mengambil kami dengan halal, malah mengurangi volume sampah ibukota. Terlebih lagi pemulung dan pengepulnya mencari usaha yang halal meski tak sedikit orang yang mencibir. Tak ada yang perlu merampok kami untuk mencari uang. Kami pun menjadi apa adanya diri kami. Dengan kami, mereka menyuapkan sesendok nasi untuk anak dan istrinya. Di dalamnya tersimpan berkah, doa, dan cinta.

Dan, nah! Kami pun sampai di tengah keluarga kecil sederhana. Seorang ayah yang suka makan, ibu yang cuek, anak perempuan 5 tahun yang tidak bisa melakukan sesuatu tanpa gerakan dan celotehan, dan seorang bayi mungil nan cantik berusia 1 bulan.

Di sinilah perjalanan cinta kami BENAR-BENAR dimulai!

Satu bulan sebelum mulai meninggalkan cuti melahirkannya, ibu si Baby sudah mulai mensterilkan kami lagi dan lagi. Di tengah waktunya mengurus seorang ayah yang suka makan, anak perempuan 5 tahun yang tidak bisa melakukan sesuatu tanpa gerakan dan celotehan, dan seorang bayi mungil nan cantik, ia mengisi kami satu persatu.

Setelah mencuci popok-popok dan pakaian, setelah menyetrika, setelah memasak, setelah mengedit naskah, setelah melayout, setelah mendesain, setelah menulis ide-idenya, sambil menahan kantuk, ia memaksakan diri untuk mengisi kami.Mengisi kami dengan cairan cinta.

Sesungguhnya bagi perempuan itu, tidak ada yang mewajibkannya bekerja. Sama halnya dengan tidak wajibnya ia untuk berada di rumah saja. Ah, dia lebih suka memakai kata berkarya daripada bekerja. Baginya semua hanyalah pilihan. Ketika situasi dan kondisi memberikannya jalan untuk berkarya, ia menjalaninya dengan senang hati. Menjadi ibu bekerja bukan berarti tidak mencintai dan mengabaikan anak-anak. Banyak juga ibu yang selalu di rumah nyatanya yang stres karena anak-anaknya. Tidak selalu satu ditambah satu sama dengan dua, prinsipnya. Ia hanya berusaha untuk sedikit cerdas menyiasati dan berdamai dengan kondisi yang serba terbatas. Karena ia tahu, betapa banyak ibu bekerja yang dalam hatinya menjerit karena naluri keibuannya menuntutnya untuk selalu mendampingi anak-anaknya. Ia pun salah satu di antaranya. Tetapi ia memilih untuk tersenyum, bukan menjerit. Pun ketika ia memilih untuk hanya memberi ASI kepada anaknya, bukan susu formula, ia berjuang
sekuat tenaga untuk mendapatkan yang terbaik sambil tetap tersenyum.

Dua bulan berlalu. Akhirnya ia mulai harus benar-benar meninggalkan kebahagiaan sejatinya. Ia harus mulai bekerja lagi. Si ibu mulai jarang kelihatan di rumah. Setiap pagi, ia membawa tiga di antara kami yang kosong, bersama dua tangkup es biru. Ia sering dibilang keras kepala dan memaksakan diri, tapi ia tak pernah keberatan. Apalah artinya tuduhan bila dibayar dengan kepuasan rasa telah berusaha memberikan yang terbaik untuk bayi kecilnya. Bagi sebagian ibu, dapat memberikan anaknya asi eksklusif adalah sebuah kewajaran, tetapi baginya --yang selalu bekerja sejak pagi hingga sore-- itu adalah sebuah pencapaian yang membahagiakan.

Setelah menciumi bayinya tak ada henti pagi itu, tak lupa membalurinya dengan doa, si ibu melangkahkah kaki panjang-panjang. Ia melompat ke dalam angkot, menyusup ke dalam ular besi yang selalu penuh sesak, menuju tempatnya berkarya. Baginya semua adalah karena cinta. Itulah bedanya bekerja dengan berkarya. Ketukan keyboard dan goresan kursor yang tercipta karena cinta memiliki tenaga yang akan membuatnya diterima oleh hati siapa pun. Tidak selalu indah, tetapi kekuatannya dapat dirasa.

Itulah juga yang kami rasakan. Kami botol-botol cinta, begitu sebutan darinya. Bahagia bukan kepalang. Kami hanya botol-botol seribu rupiah. Tapi kami terisi cairan tak ternilai rupiah. Makanan terbaik bagi bayi yang baru mengenal dunia.

Satu demi satu kami terisi penuh. Ketika matahari mulai lelah, hendak menuju kasur empuknya, si Ibu dengan riang memasukkan tubuh kami ke dalam ranselnya yang selalu kembung. Kami ikut terguncang ketika ia berlarian mengejar ular besi yang tampaknya terlalu dirindu. Meski tak sekali ia terjatuh mengejar ular yang sering mengecewakan itu, tak ada jera sang ibu terus berharap. Tampak buncahan rasa rindu karena memikirkan bayinya yang lucu. Sejenak ia tersenyum membayangkan hidungnya digigiti gigi muda yang baru berputik, rambutnya ditarik jemari kecil nan gendut-gendut, roknya digelantungi tubuh kecil yang mulai belajar berjalan.

Kami, tiga botol cinta, semakin didekapnya erat ketika ular besi yang digelantungi manusia bak semut mulai muncul. Tubuh mungilnya melompat ke dalam dan terombang-ambing sejenak. Di dalam ular besi yang membuat orang kurus itu pun ia tetap tersenyum, memikirkan obat anti-depresannya. Obat anti depresan yang mulai pintar merengek dikala melepas kepergiaannya setiap pagi.Dan... terbanglah kami bersamanya. Kami, tiga botol cinta....***

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (al-Baqarah : 233).

Ini isi hati para botol kaca, botol selai atau media ASI yg mommies gunakan untuk asix.


sumber: Milis AFB.

Membacanya membuat saya semakin kuat untuk memberikan asi kepada Naeema. Tidak peduli beratnya tas tenteng yang setiap sore saya bawa karena sudah terisi dengan asi yang dengan susah payah saya kumpulkan, walau tangan ini terasa pegal, cuma terbayarkan kalau melihat ratusan mili yang saya kumpulkan. Alhamdulillah.....sampai saat ini saya masih bisa memenuhi kebutuhan asi Naeema.

Membacanya membuat saya menyadari bahwa begitu banyak perempuan-perempuan diluar sana yang berjuang memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Kalau mereka bisa, insyaallah saya juga bisa.

Ya Allahu Rabb....ajari hamba menjadi orangtua yang terbaik untuk anak-anak hamba, amin.

Labels: